PETANI KARET BELUM DILIRIK
Program
yang digalakkan bapak presiden jokowi adalah dengan sebutan “nawacita”. Istilah lain
membangun dari pinggiran. Dalam program tersebut pada poin ke tujuh disebutkan “mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”. Program ini bertujuan
untuk mendongkrak dan meminimalisir angka kemiskinan di Indonesia. Dalam bagian
inilah sektor pertanian dicantumkan. Salah satunya, menstabilkan harga komoditi dengan kebutuhan
pokok sehingga tidak menimbulkan kepincangan dalam kehidupan masyarakat atau
sering kita dengar “lebih besar pasak dari pada tiang” terutama rakyat kecil.
Mereka menaruh harapan kepada pemimpin yang katanya lahir dari rakyat.
Hadirnya program tersebut membawa angir segar
bagi para petani. Terutama petani karet yang saat itu harga karet yang turun
dratis. Masyarakat daerah pelosok yang kehidupannya bergantung pada hasil karet
menaruh harapan pada pemerintah. Mereka ingin hal itu segera direalisasi untuk
meningkatkan taraf hidup mereka. Selain itu, banyak tokoh atau pemuda yang
bergabung suatu forum berlari menyampaikan aspirasi agar harga karet dinaikkan
dengan dicarikan solusi dan kebijakan pada persoalan harga karet yang kian hari
makin anjlok. Salah satunya Forum Pemuda Peduli Kepulauan Nias yang telah
memberikan Surat kepada bapak presiden
untuk kenaikan harga karet ketika beliau berkunjung di pulau Nias. Saat itu dikatakan hal ini akan ditindakjutin
dan segera dicari solusi.
Langkah
Pemerintah Belum Nampak
Sejak itu sampai sekarang, kebijakan atau solusi
yang diterapkan pemerintah terhadap persoalan itu belum dirasakan masyarakat. Memang,
beberapa bulan di awal tahun 2017 mengalami kenaikan, harganya saat itu
berkisar Rp.10.000-12.000 sehingga menghidupkan semangat petani untuk menderes.
Sayangnya, ini tak berlangsung lama dan tak bisa distabilkan. Jangankan jadi
harga tetap malahan semakin anjlok. Di berbagai daerah di Indonesia termasuk di
pulau Nias harga karet berkisar 5.500-7000/kg.
Semakin anjloknya harga karet bukan tanpa sebab.
Kebijakan menghentikan kegiatan ekspor menjadi faktor utama, hal ini dilakukan
untuk memenuhi stok dalam negeri. Ternyata ini seperti’galing lobang tutup
lobang”. Faktor lainnya juga adalah semakin meningkatnya sistem daur ulang pada
produk yang bahan dasarnya karet. Selain itu, di kancah internasional dikutip dari
Tempo.Co Harga karet melanjutkan pelemahan pada
perdagangan pasca Yen menguat Rabu, 7 Juni 2017. Rakyat yang kehidupannya
bersandar pada karet mengharapkan pemerintah segera mengambil langkah dalam
persoalan ini dan diibiarkan begitu saja.
Persoalan ini seperti kurang ada tanggapan dari pemerintah.
Hal ini dapat dilihat dari belum adanya langkah-langkah yang ditempuh dalam
menjawab persoalan ini tidak seperti persoalan di aspek yang lain. Ataukah hal
ini tidak dianggap sebagai persoalan nasional sehingga di pandang sebelah mata
atau tutup mata. Tidakkah dipahami bahwa kita negara Indonesia sebagai
penghasil karet nomor dua di dunia. Selain itu, karet di Indonesia ini 80%
berasal dari rakyat yang kehidupannya bergantung disitu.
Petani Karet Tertindas
Keadaan ini tentu membuat petani karet sangat menderita. Ini
disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena upah yang diperoleh tidak sebanding
dengan keringat yang mereka keluarkan saat menderes. Misalnya, seorang petani menderes
karet sehari memperoleh getah seberat 5kg, dengan itu dia memperoleh gaji
sebesar Rp. 25.000 dan ini sangat jauh dari Upah Minimum Pekerja (UMP). Sesuai data Disnaker Sumut
dijelaskan bahwa UMP tahun 2017 berkisar Rp. 81.000/hari. Kedua, harga karet
tidak sebanding dengan harga bahan pokok Bayangkan saja, harga beras Rp.16.000/kg,
minyak tanah Rp.7000/Liter, minyak makan RP.14.000/kg, ikan asin Rp.18.000. Keadaan
ini berpengaruh buruk pada taraf hidup sebagai warga negara Indonesia dan kalau
dibiarkan maka semakin hari semakin meningkat tingkat kemiskinan di indonesia
jadi otomatis tujuan pemerintah untuk mensejahterakan rakyat hanya retorika
belaka.
Turunnya harga karet ini merembes ke berbagai aspek kehidupan
masyarakat Nias. aspek kehidupan itu, diantaranya konsumsi warga, pendidikan,
kesehatan dan migrasi penduduk. Pertama pada aspek konsumsi. Ini berhubungan
apa yang dimakan setiap warga masyarakat dan kebutuhan vital dalam
melangsungkan hidup sebagai makhluk hidup. Konsumsi masyarakat indonesia umumnya
nasi, sayur, lauk, buah dan susu dapat dimakan tiga kali setiap hari sehingga
memenuhi empat sehat lima sempurna. Dengan jatuhnya harga karet masyarakat
petani karet susah dalam memenuhinya. Banyak mereka yang hanya makan nasi
sekali sehari bahkan ada yang sama sekali tidak. Mereka hanya makan pisang ditambah garam setiap
hari. Mirisnya ada anak yang harus mencuri demi bisa makan. Selanjutnya, pada
pendidikan atau pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Pendidikan biasanya
ditempuh di sekolah. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan anak di sekolah yang
tidak dibarengi dengan penghasilan banyak anak-anak yang putus sekolah, tidak
mampu melanjut ke jenjang yang lebih tinggi atau universitas. Hal ini
mengakibatkan pola pikir setiap anak
tidak mampu mengikuti jaman. Begitu juga dengan kesehatan. Dengan rendahnya
penghasilan, banyak orangtua tidak mampu membeli susu untuk anaknya. Warga
menjadi rawan dengan sakit maag. Selain itu, masalah migrasi juga terjadi.
Urbanisasi besar-besaran semakin menjalar di tiap daerah. Hal ini didasari sebagai jawaban terakhir
untuk bisa bertahan hidup. Akibatnya bisa negatif terhadap perkembangan pulau tersebut.
Kepedulian dan rasa sosial di dalam suatu desa menjadi berkurang. Jadi, kalau
keadaan ini terus berlanjut penduduk desa semakin sunyi dan tidak terurus
sedangkan kota padat sedangkat kota semakin padat. Semoga pemerintah dapat
mencari solusi yang tepat. Jangan biarkan suara tangisan mereka melengking
dalam resahnya penderitaan mereka.
Post a Comment